Dewi Kunti, Mantra Sakti Dan Sayembara

Dewi Kunti, Mantra Sakti Dan Sayembara – Dalam Epos Mahabharata, Dewi Kunti merupakan tokoh penting dalam perjalanan Pandawa karena Kunti adalah ibu yang mengasihi dan membimbing mereka. Kunti adalah sosok wanita yang memiliki kecantikan bak dewi dari kahyangan dan hati yang penuh kebajikan. 

Dewi Kunti versi India dan wayang kulit
Dewi Kunti
Kunti adalah sosok ibu yang sangat mengasihi anak-anaknya, mendidik, mengajari, menuntun dan menemani mereka dalam setiap tahap kehidupan hingga mencapai kemulyaan. Bagi Pandawa, Kunti adalah seorang ibu sekaligus ayah yang menjadi tempat berkeluh kesah, tempat mengadu dan menumpahkan segala keresahan hatinya.

Namun, tidak ada manusia yang sempurna, Kunti pun pernah melakukan kesalahan yang sangat disesali sepanjang hidupnya. Untuk mengetahui siapakah sebenarnya Dewi Kunti, mari kita ikuti cerita berikut ini.

Dewi Kunti, Mantra Sakti Dan Sayembara

Ayah Dewi Kunti adalah Sura, yang juga merupakan kakek Sri Krishna, berasal dari keturunan baik-baik wangsa Yadawa. Nama aslinya adalah Pritha, yang sangat terkenal karena kecantikan dan kebajikannya. 

Sura memiliki seorang sepupu bernama Kuntiboja dan karena sepupunya itu tidak mempunyai keturunan, maka Sura menyerahkan Pritha untuk diangkat sebagai anak oleh Kuntibhoja. Dan, semenjak itul Pritha lebih dikenal dengan nama Dewi Kunti, mengikuti nama ayah angkatnya. 
Mantra Sakti

Ketika Dewi Kunti masih seorang gadis remaja, Resi Durwasa,  seorang resi mahasakti menjadi tamu kehormatan dan pernah tinggal lama di rumah, raja Kuntibhoja, ayah angkatnya. Dan, Kunti melayani serta mempersiapkan segala keperluan Sang Resi dengan penuh bakti, sabar dan penuh pengertian. Sehingga Resi Durwasa pun mengasihinya lalu memberinya satu mantra suci yang sakti.

Resi Mahasakti itu menjelaskan kepada Kunti bahwa mantra suci itu dapat memanggil seorang dewa yang dikendakinya. 
“Siapa saja dewa di kahyangan yang kamu kagumi dan engkau ingin memangginya, maka mantra suci ini akan dapat membantumu. Hingga, Dewa yang kaupanggil akan muncul di hadapanmu,  lalu engkau akan mempunyai anak yang keagungannya sama dengan keagungan dewa yang kaupanggil itu.” 
Satu alas an mengapa Resi Durwasa menghadiahkan mantra itu kepada Dewi Kunti adalah karena dalam pandangan mata batinnya ia melihat jika kelak gadis itu akan menemui nasib buruk dalam hubungan dengan suaminya. 

Kesalahan Dewi Kunti

Sebagai seorang gadis remaja yang masih memiliki rasa ingin tahu teramat besar sehingga tidak dapat menahan kesabarannya maka dengan diam-diam, Dewi Kunti mencoba kekuatan mantra itu. Ketika malam, dalam biliknya, ia mengucapkan mantra itu sambil menyebut nama Batara Surya, sang Dewa Matahari, yang dalam bayangannya sangat agung dan bercahaya. 

Setelah mengucapkan mantra sakti itu, tiba-tiba langit menjadi gelap gulita seolah awan tebal menyelimuti dan menutupi semua sumber cahaya. Dan, dari balik kegelapan yang pekat muncul sosok pria yang tampan dan anggun dengan tubuh bercahaya, dialah sang Surya. Kemudian Dewa Matahari mendekati Kunti yang cantik jelita dengan pandangan yang takjub dan penuh gairah. 

Mantra sakti dan Batara Surya

Sementara itu, Dewi Kunti yang berada dalam pengaruh kekuatan gaib dan terpesona oleh keagungan serta kesucian tamunya berkata, 
“Wahai Dewa yang tampan dan agung, siapakah engkau?” 
“Duhai putri nan jelita, akulah Batara Surya, Dewa Matahari yang terseret ke mayapada ini oleh kekuatan gaib mantra suci yang kauucapkan guna memanggilku.” 

Dengan penuh perasaan kaget dan gembira karena mantra suci yang dibacanya berhasil, Dewi Kunti berkata, 
“Wahai Dewa Surya, aku hanyalah seorang gadis remaja yang masih berada di bawah pengawasan ayahku. Sehingga aku belum pantas untuk menjadi seorang ibu dan tidak pernah memimpikannya. Tujuanku hanya ingin mencoba kekuatan mantra sakti pemberian Resi Durwasa maka kembalilah engkau ke kahyangan dan maafkanlah atas kebodohanku.” 

Mendengar penjelasan gadis jelita itu, Dewa Surya hendak kembali ke kahyangan, akan tetapi kekuatan gaib mantra itu menahannya. Dewi Kunti menjadi gelisah, meskipun terpesona oleh ketampanan sang Dewa, nalar dan pertimbangannya masih berjalan sehingga ia takut apabila hubungan asmara ini akan membuatnya hamil. 

Jika itu terjadi maka seluruh dunia akan menghinanya karena hamil padahal belum menikah. Namun, denganpenuh kasih dan kelembutan, Batara Surya menghibur dan meyakinkannya, 

“Jangan engkau kawatir Kunti yang jelita, tak seorang pun akan menghinamu, karena setelah engkau melahirkan anakku maka dirimu akan kembali menjadi seorang perawan suci.” 
Dan, terjadilah hubungan olah asmara antara dua mahluk yang berbeda dunia ini, penuh dengan cumbu rayu dan kasih mesra. Meniti ombak demi ombak gairah yang menghempaskan mereka pada puncak surgaloka.

Akibat hubungan ini, Dewi Kunti pun mengandung. Namun, berkat kesaktian sang Dewa Matahari, begitu mengandung seketika itu juga ia melahirkan anaknya.  Tidak seperti manusia pada umumnya yang melahirkan setelah mengandung selama kurang lebih sembilan bulan. Dan, pintu kelahirannya juga berbeda yaitu melalui telinga.

Sehingga anak Kunti dengan Dewa Surya itu diberi nama Karna, yang dalam bahasa sansekerta berarti telinga.

Dan, istimewanya lagi, ternyata bayi Karna lahir disertai dengan seperangkat senjata perang yang suci dan hiasan telinga yang indah berkilau seperti matahari sebagai tanda putra sang Dewa Matahari. 

Dewi Kunti, seorang gadis remaja yang masih polos dan belum mengenal cinta, telah merasakan indahnya bercinta dengan seorang Dewa berkat mantra sakti yang diterimanya dari resi Durwasa.

Ketika pengaruh mantra suci dan pengalaman indah yang telah dirasakannya telah pudar, kesadarannya sebagai manusia pulih kembali. Kini, dihadapannya, telah hadir seorang bayi tanpa dosa. Kunti bingung, apa yang harus dilakukan terhadap bayi mungil itu.

Maka demi harga dirinya dan untuk menghindarkan segala kutuk dan malu yang akan menimpanya, bayi itu dimasukkan ke dalam sebuah kotak yang tertutup rapat lalu dihanyutkannya di sungai. 

Dengan menitikkan air mata, Kunti menatap bayinya yang terbawa arus sungai. Satu kesalahan seorang Prita yang akan menjadi penyesalannya seumur hidupnya.

Dewi Kunti membuang bayinya

Sementara itu, Adirata, seorang sais kereta kuda yang sudah lama tidak mempunya seorang anak, menemukan kotak yang terapung-apung dihanyutkan arus air. Segera, ia mengambil kotak itu lalu membukanya. 

Betapa terkejutnya sang kusir kereta ketika menemukan seorang bayi tampan berada di dalamnya. Sejenak, muncul berbagai pertanyaan tentang asal-usul bayi malang ini, namun akhirnya ia menyadari jika bayi ini telah dibuang. 

Maka, dengan penuh kegembiraan, ia menyerahkan bayi itu kepada istrinya. Dan, wanita yang begitu mendambakan kehadiran seorang anak ini pun menerima bayi itu dengan penuh suka cita lalu merawatnya dengan kasih ibu yang berlimpah. 

Dan, Karna, putra Kunti dengan Batara Surya, diasuh dan dibesarkan oleh keluarga Adirata, sang kusir kereta.

Sayembara 

Seiring perjalanan waktu, Dewi Kunti mampu melupakan pengalaman indah yang menjadi kesalahan yang disesalinya. Kunti tumbuh menjadi seorang wanita yang semakin cantik jelita, dan ketika usianya sudah dianggap sudah siap untuk menikah, Raja Kuntibhoja mengundang semua putra mahkota dari kerajaan-kerajaan tetangga untuk mengikuti sayembara meperebutkan putrinya. 

Ketika sayembara itu diumumkan, maka para raja dan putra-putra mahkota, dating berduyun-duyun ingin mempersunting Dewi Kunti yang termasyhur akan kecantikan dan kebajikannya. 

Para peserta sayembara, mengadu keahlian, kesaktian dan ketrampilan dalam tata perang. Masing-masing berjuang demi kebanggaan dan kehormatan negaranya dan demi mendapatkan Kunti yang cantik jelita.

Sayembara berlangsung hingga berhari-hari sampai akhirnya Raja Pandu Dewanata dari kerajaan Hastina, keluar sebagai pemenangnya.

Raja Pandu Dewanat
Pandu Dewanata
Raja Pandu, seorang pemuda tampan rupawan yang sakti mandraguna namun memiliki sedikit cacat yaitu kepalanya yang “nengleng” atau miring. Selain itu, Raja Pandu terkenal bijaksana dan perkasa serta berasal dari wangsa Bharata yang ternama. Kesaktian dan keluhuran pribadinya mampu mengalahkan semua putra mahkota yang mengikuti sayembara itu. 

Dan, Kunti pun sangat gembira mendapatkan suami yang tampan rupawan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Maka pernikahan antara putra dan putri dua kerajaan besar ini berlangsung dengan meriah, kemudian Dewi Kunti diboyong ke kerajaan Hastina.

Penutup

Nah, itulah cerita tentang “Dewi Kunti, Mantra Sakti Dan Sayembara.” Sosok wanita cantik dan baik hati, ibu dari Pandawa. 


Kutukan Pandu Dan Lahirnya Pandawa

Kutukan Pandu Dan Lahirnya Pandawa – Kisah ini merupakan babak awal yang menceritakan kematian raja Pandu dan lahirnya Pandawa Lima. Banyak dari kita yang belum mengetahui asal-usul dari Pandawa Lima sehingga tulisan ini diharapkan dapat menjawab dan memberikan pengetahuan tentang salah satu kisah dalam epos Mahabharata.

Kutukan Sang Resi

Raja Pandu atau Pandu Dewanata adala raja Hastina Pura, yang memiliki dua orang istri yang sangat cantik jelita yaitu Dewi Kunti dan Dewi Madrim.

Pada suatu hari Raja Pandu pergi berburu di hutan. 

Di dalam hutan itu ada seorang resi yang sedang asyik bercengkerama dengan istrinya namun karena kesaktiannya, mereka menyamar sebagai sepasang kijang yang sedang memadu kasih. 

Kutukan Pandu Dan Lahirnya Pandawa

Pandu yang melihat sepasang kijang itu tidak menyangka bahwa mereka adalah jelmaan seorang resi dan istrinya. Dia mengangkat panahnya, membidik mereka. 

Dan... meluncurlah anak panah dari tangan Pandu, melesat cepat, tepat menancap pada tubuh si kijang jantan. Kijang itu jatuh terguling. Luka berdarah-darah. Dalam keadaan sekarat, kijang jantan itu berubah menjadi resi dan mengucapkan kutuk-pastu terhadap Pandu, 
“Hai, lelaki penuh dosa, rasakan kutukanku. Engkau akan menemui ajalmu sesaat setelah engkau menikmati olah asmara dengan istrimu.” 

Setelah melontarkan kutukannya, resi itu menghembuskan napas yang penghabisan. Pandu sungguh kaget mendengar kutukan sang resi. Dengan perasaan putus asa ia memikirkan akibat kutukan itu. Akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari kerajaan dan menyerahkan semua urusan kerajaan kepada Bhisma dan Widura. 

Mantra Dan Lahirnya Pandawa

Pandu memutuskan untuk hidup mengembara di hutan bersama kedua istrinya untuk menyucikan diri dengan bersamadi dan bertapa. Dewi Kunti sedih melihat suaminya terkena kutuk-pastu. Ia tahu, sebenarnya suaminya ingin sekali mempunyai keturunan tetapi tak kuasa mewujudkannya karena kutukan itu. 

Sebagai istri yang mencintai dan setia kepada suaminya, ia merasa wajib menolong Pandu. Karena itu ia menceritakan rahasia mantra gaib yang diterimanya dari Resi Durwasa. Pandu mendesak kedua istrinya untuk menggunakan mantra itu guna memanggil dewa-dewa dari kahyangan.

Baca Juga : Dewi Kunti, Mantera Sakti dan Sayembara

Dewi Kunti dan Dewi Madrim menyanggupi permintaan suami mereka. Bersama-sama mereka mengucapkan mantra itu dan memohon agar mereka dikaruniai anak. 

Demikianlah yang terjadi. Kedua istri Pandu mengucapkan mantra dan permohonan mereka dikabulkan. Lima dewa turun dari kahyangan menemui kedua wanita itu. Kemudian, dengan cara gaib Dewi Kunti melahirkan tiga putra dan Dewi Madrim melahirkan putra kembar. 

Kutukan Pandu Dan Lahirnya Pandawa

Kelima putra itu dibesarkan di tengah hutan dalam asuhan orangtua mereka, dibantu para resi dan para pertapa di hutan itu. Putra Dewi Kunti yang tertua diberi nama Yudhistira, artinya ‘yang teguh hati dan teguh iman di medan perang’. Putra ini lahir sebagai titisan Batara Dharma, Dewa Keadilan dan Kematian, dan disegani karena keteguhan hatinya, rasa keadilannya, dan keluhuran wibawanya. 

Putra kedua diberi nama Bhima atau Bhimasena, terlahir dari Batara Bayu, Dewa Angin. Bhimasena disegani sebagai penjelmaan wujud kekuatan yang luar biasa pada manusia. Ia dilukiskan sebagai orang yang pemberani dan berperilaku kasar, tetapi berhati lurus dan jujur. 

Putra ketiga diberi nama Arjuna, terlahir dari Batara Indra, Dewa Guruh dan Halilintar. Arjuna, yang berarti ‘cemerlang, putih bersih bagaikan perak’ disegani sebagai penjelmaan sifat-sifat pemberani, budi yang luhur, dermawan, lembut hati dan berwatak kesatria dalam membela kebenaran dan kehormatan. 

Putra kembar Dewi Madrim diberi nama Nakula dan Sahadewa dan terlahir dari Dewa Aswin yang kembar, putra Batara Surya, Dewa Matahari. Putra kembar itu melambangkan keberanian, semangat, kepatuhan, dan persahabatan yang kekal.

Kutukan Pandu Dan Lahirnya Pandawa

Kehidupan di alam bebas di dalam hutan itu memberi pengaruh sangat besar dan mendalam bagi pertumbuhan jiwa dan raga putra-putra Pandu yang disebut Pandawa. Kelak, setelah mereka dewasa, kelima putra itu akan memegang peranan penting dalam sejarah dan membuat seisi dunia kagum. 

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Kehidupan di dalam hutan sangat tenang. Pohon-pohonan dan bermacam-macam binatang hidup damai bersama manusia yang menghuni hutan itu. Mereka bagaikan satu keluarga besar yang hidup selaras dengan alam. 

Memang demikianlah seharusnya, karena Yang Maha Kuasa telah menciptakan alam semesta seisinya dengan tatanan yang adil bagi setiap makhluk ciptaanNya. 

Mangkatnya Sang Raja Hastina

Pada suatu pagi di musim semi yang indah, Pandu dan Dewi Madrim duduk termangu memikirkan kutukan yang membuat mereka sengsara. Mereka sedih merasakan gairah asmara yang terpendam dan tak mungkin tersalurkan, padahal alam di sekitar mereka sedang mengenakan busananya yang terindah. 

Kutukan Pandu Dan Lahirnya Pandawa
Pandu Dewanata
Sumber Gambar : Hadi Sukirno
Bunga-bunga bermekaran menaburkan keharuman yang semerbak, burung-burung berkicau riang dan aneka margasatwa bercengkerama memuaskan nafsu berahi dalam udara musim semi yang segar. 

Pandu memandang sekelilingnya, kemudian menatap Dewi Madrim yang jelita. Terpengaruh oleh keindahan alam dan suasana musim semi yang penuh gairah, ia lupa diri. Dengan penuh gairah ia memeluk Dewi Madrim dan mencumbunya. 

Dewi Madrim berusaha menolaknya, tapi tak kuasa. Mereka segera tenggelam dalam olah asmara yang menggebu-gebu. Tetapi... tiba-tiba Pandu roboh dan seketika itu juga menghembuskan napas yang penghabisan. 

Kutuk-pastu, yang dilontarkan resi yang menjelma dalam rupa kijang yang mati dipanah oleh Pandu, menunjukkan kesaktiannya. Dewi Madrim sangat sedih, lebih-lebih karena ia merasa berdosa dan bertanggung jawab atas kematian Pandu. 

Ia segera menghadap Dewi Kunti, memohon agar wanita itu bersedia mengasuh anak-anaknya sebab ia akan menyusul suaminya dengan melakukan satya. Tak ada yang dapat mencegahnya. Dewi Madrim melakukan satya dengan menerjunkan diri ke dalam api pembakar jenazah suaminya. 

Para resi dan para pertapa yang iba melihat Dewi Kunti dan anak-anaknya kemudian mengantarkan mereka ke Hastinapura. Ketika itu Yudhistira, sulung di antara para Pandawa, baru berusia belasan tahun. Sampai di Hastinapura, rombongan itu menghadap Bhisma. 

Pandawa Kembali Ke Hastina

Para resi dan pertapa itu mengabarkan mangkatnya Raja Pandu dan menyerahkan Dewi Kunti dan kelima putra Raja Pandu ke dalam asuhan Bhisma. Mendengar kabar itu, seisi kerajaan berkabung. Widura, Bhisma, Wyasa, dan Dritarastra kemudian melaksanakan upacara persembahyangan untuk mendoakan arwah Raja Pandu yang manunggal paratman kekal abadi 

Bagawan Wyasa berkata kepada Satyawati, nenek Raja Pandu, 
“Masa lampau telah berlalu bersama suka dukanya, tetapi masa depan akan datang membawa kedukaan yang lebih menyakitkan. Dunia ini telah memikul kegairahan orang muda yang terbuai mimpi-mimpi. Sekarang dunia akan memasuki jaman yang penuh dosa, kepahitan, kesedihan, dan penderitaan. Tak ada yang bisa menghindarinya. 
Waktu terus berjalan, menyusuri garis takdirnya. Engkau tak usah menunggu untuk menyaksikan semua malapetaka yang akan menimpa anak keturunanmu. Akan lebih baik bagimu jika kau meninggalkan Hastinapura dan melewatkan hari-harimu dengan bersamadi dan bertapa di dalam hutan.” 
Satyawati menerima nasihat Bagawan Wyasa. Bersama Ratu Ambika dan Ratu Ambalika, ia pergi ke hutan. Ketiga ratu yang telah lanjut usia itu melewatkan hari-hari mereka dengan bersamadi dan menyucikan diri serta berdoa agar anak keturunan mereka terhindar dari malapetaka. 

Itulah yang mereka lakukan, hari demi hari, bulan demi bulan, sampai mereka mencapai moksha.

Penutup

Itulah kisah yang menceritakan tentang “Kutukan Pandu Dan Lahirnya Pandawa.” Pandawa lahir, tumbuh dab berkembang di tengah hutan belantara sehingga membuat mereka menjadi anak-anak yang memiliki kelebihan, kekuatan dan kecerdasan didikan alam.

Kembalinya Pandawa dan Ibunya, Dewi Kunti menjadi babak awal perselisihan, pertengkaran dan perebutan kekuasaan antara Pandawa dan Kurawa. 

Semoga Bermanfaat..

Sumber : Mahabarata, Nyoman S. Pendit

Artikel Terkait :

Mengapa Arjuna Keluarnya Malam Hari?

Mengapa Arjuna Keluarnya Malam Hari? - Dalam pertunjukan wayang kulit dengan berbagai lakon terutama dalam kisah Mahabharata, ada seorang tokoh ksatria, biasanya adalah Arjuna yang keluarnya pada malam hari yaitu pada adegan perang kembang. Mengapa ?

Pasti ada alasannya.

Arjuna dalam kisah pewayangan adalah seorang ksatria yang tampan, rupawan dan memiliki kesaktian yang tinggi. Disamping itu, Arjuna adalah seorang yang gemar melakukan topobroto untuk menambah kesaktiannya dan mencari guru yang sakti guna menambah ilmu dan wawasannya.

Mengapa Arjuna Keluarnya Malam Hari?
Gambar : Indraprasetya76

Arjuna merupakan sosok lelaki yang sempurna, tampan dan sakti, sehingga para dewata menjulukinya sebagai 'lelananging jagad' atau lelaki terhebat di dunia.

Tapi tahukah anda apabila Arjuna juga memiliki kekurangan?

Sungguh hebat pujangga yang menciptakan tokoh Arjuna ini, beliau tidak menciptakan sosok super hero yang tanpa cela melainkan sosok manusia biasa yang memiliki kelebihan dan kekurangan.

Omong-omong apa kekurangan Arjuna?

Kekurangan Arjuna adalah sifatnya yang mata keranjang. Arjuna adalah sosok lelaki yang tidak dapat melihat jidat licin dan paha mulus atau wanita cantik. Tidak peduli masih bujangan atau sudah menjadi istri orang lain.

Padahal Arjuna sudah memiliki banyak istri yang semuanya cantik jelita dan sexy, tidak hanya dari golongan manusia saja bahkan ada 7 dewi atau bidadari yang menjadi istrinya seperti dalam kisah Arjuna Wiwaha.

Tapi kenapa Arjuna merasa masih kurang juga?

Menurut Kanjeng Sunan Kalijaga yang memasukkan syiar Islam dalam budaya wayang kulit, Arjuna adalah simbol dari nafsu 'Sufiyah' yaitu nafsu yang mencintai keindahan dan syahwat. Nafsu diibaratkan seperti minum air laut, semakin diminum akan semakin haus.

Demikian juga yang terjadi pada Arjuna, meskipun pernah kena batunya saat merebut istri Palgunadi hingga kalah dalam perang tanding yang termuat dalam kisah 'Palguna dan Palgunadi', namun Arjuna belum kapok juga mengejar wanita cantik.

Hingga, Ki Nartosabdo membuat suatu anekdot tentang perilaku Arjuna dalam hubungannya dengan wanita.

Seperti dalam judul artikel ini, yang berupa pertanyaan "mengapa dalam pementasan pertunjukkan wayang kulit, Arjuna keluarnya pada malam hari?"

Kunjungi Juga : www.ayodolenrek.com

Arjuna Keluar Pada Malam Hari

Pada babak pementasan pertunjukan wayang kulit, setelah terjadinya 'perang gagal' yaitu pertemuan antara ksatria dengan raksasa atau pandawa dengan kurawa yang berujung saling menghindar sehingga tidak jadi perang.

Maka kira-kira jam 3 malam, giliran 'perang kembang' yaitu peperangan antara ksatria, biasanya Arjuna atau bambang-bambang yang lain, melawan para raksasa seperti buto cakil, raksasa rambut geni dan lain-lain.

Makna yang tersirat sebenarnya adalah perang seorang ksatria melawan nafsunya sendiri yang diwujudkan dalam bentuk berbagai raksasa.

Namun oleh Ki Nartosabdo makna tersebut diplesetkan menjadi semacam guyonan.

Arjuna keluar pada malam hari karena ingin menyalurkan hobinya yaitu mengejar wanita cantik. Dan, keluarnya Arjuna selalu diikuti oleh empat punakawan yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.

1. Semar diplesetkan menjadi 'mesem e ndek kamar'. Karena saat bertemu dengan wanita cantik, Arjuna mengajaknya ke kamar lalu 'mesam-mesem' di dalam kamar untuk merayu wanita itu.

2. Gareng menjadi 'barang sing sigare miring' atau kemaluan wanita yang menjadi sarana melakukan olah asmara.

3. Petruk menjadi 'kecepit jeruk', dalam olah asmara antara lelaki dan perempuan atau 'adu kelamin' kata orang Batak, kelamin laki-laki terjepit dalam kelamin wanita atau 'jeruk'.

4. Bagong menjadi 'obahing bokong', itulah adegan yang terjadi dalam olah asmara yaitu gerakan bokong atau pantat yang naik-turun.

Sehingga ketika Arjuna keluar pada malam hari diikuti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, dimaknai Arjuna sedang melakukan pertemuan dengan wanita lalu melakukan olah asmara.

Demikian penjelasan dan jawaban dari pertanyaan Mengapa Arjuna Keluar Pada Malam Hari? Jika anda mempunyai pendapat lain dan tidak setuju dengan isi artikel ini, silahkan isi komentar dibawah ini.

Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti

Arjuna Wiwaha Bagian II

Arjuna Wiwaha Bagian II – Pada bagian pertama dikisahkan bagaimana kegelisahan Dewa Indra saat menerima ancaman dari Prabu Niwatakawaca yang akan menghancurkan kahyangan Suralaya apabila permintaannya untuk meminang bidadari tercantik di Suralaya yang bernama Dewi Supraba tidak diterima. Seterusnya Batara Guru mengatakan bahawa manusia yang dapat menghancurkan Prabu Niwatakawaca tersebut hanyalah seorang manusia sakti bernama Arjuna.

Arjuna Wiwaha Bagian II

Untuk menguji kesungguhan tapanya, Batara Indra mengutus tujuh bidadari cantik dari Suralaya untuk menguji kesungguhan pertapaan Arjuna di Gunung Indrakila. Akan tetapi usaha bidadari tersebut sia-sia kerana Arjuna sama sekali tidak tergoda sedikit pun daripada tapanya. Ia tidak terpengaruh dengan rayuan daripada para bidadari.

Dewi Supraba dan teman-temannya menjadi putus asa, kepada Sang Hyang Wulan, dewa bulan, Supraba menceritakan keluh kesahnya.Sang Hyang Wulan menaruh belas kasihan kepada Supraba yang putus asa itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dewa itu hanya menjawab,

“Maaf Supraba, tapa Arjuna itu memang sangat khusuk tiada banding. Ia menutup seluruh panca inderanya. Walaupun akan ada petir atau guntur, atau gunung longsor didekatnya ia tidak akan terpengaruh. Seluruh tubuhnya penuh unsur kewaspadaan. Bahkan membangunkannya pun tidak setiap dewa dapat. Jadi engkau tidak perlu kecewa Supraba.” (Sunardi D.M, 1993: 52)

Kegagalan dewi Supraba dan teman-temannya digambarkan dalambentuk puisi oleh Sanusi Pane.

Tapi Parta yang gagah perkasa tetap imannya.
Panca inderanya tidak mengindahkan yang disukainya dulu.
Mendengar melihatnya juga, tetapi tidak menjadi bimbang.
Tidak menodai kesuciannya sebentar pun jua.
Bidadari ringkasnya berputus asa.
Sudah tiga malam mereka itu menggoda terus menerus,
Tapi ia tetap tenang, diam semata.
Mereka pulang bersama-sama, Parta terlukis dalam hatinya.
(Sanusi Pane, 1960: 23).

Atas kesungguhan tapanya, Arjuna dinyatakan lulus ujian dan dihadiahi Panah Pasopati oleh Batara Guru yang digunakan dalam peperangan melawan Prabu Niwatakawaca.

Ini adalah cuplikan perbincangan antara Batara Guru yang menyamar sebagai Resi Padya dengan Arjuna.

“Memang tujuan tapaku antara lain juga mencari senjata sakti untuk digunakan dalam perang Bharata Yudha yang akan datang. Aku bertapa ini juga kerana ingin mendapatkan senjata sakti dan kesaktian dalam peperangan. Dengan senjata sakti tersebut aku ingin mengayomi jagad ini dan ingin agar para pendeta terlindungi serta terhindar dari gangguan berupa apa pun. Dengan demikian mereka dapat menyebarluaskan ajaran-ajaran utama mereka. Aku merasa mempunyai kewajiban menjaga apa yang disebut parahita, yaitu menjaga ketenteraman hati rakyat di seluruh negeri.”

Berkatalah Sang Resi Padya,
“Engkau benar-benar telah melatih dirimu untuk mencapai maksud demikian. Engkau lupa bahwa manusia hidup di dunia itu hanya sebagai wayang kulit. Jadi ada dalang yang telah menggerakkannya. Sang wayang tak dapat menggerakkan dirinya sendiri. Semua bentuk tangis, tawa, sedih, suka, percakapan, bangun, tidur, duduk, berdiri, berjalan, bahkan bangun tidur dari wayang, sang dalanglah yang mengaturnya.”

Berkatalah Raden Arjuna,
“Duh sang Resi, semua ucapanmu benar. Aku bertapa ini bukannya mencari mati. Tugasku di dunia ini masih terlampau banyak. Sebagai seorang kesatria aku harus memahami hakekat hidup ini. Sejak lahir sampai seumurku ini tentu aku telah membuat banyak membuat dosa. Adalah wajar kalau aku berikhtiar untuk mengurangi dosa tersebut. Aku sependapat denganmu bahawa manusia hidup di dunia ini ibarat seperti wayang, jadi ada dalangnya. Aku ingin mendekatkan diriku dengan Sang Dalang tersebut, agar hidupku tidak keblinger, itulah jalan untuk mengurangi dosa dan mawas diri.” (Sunardi D.M, 1993: 52)

Prabu Niwatakawaca sangatlah sakti, saat masih jejaka yang pada waktu itu masih berkedudukan sebagai seorang pangeran, ia bernama Raden Nirbita. Nirbita bermakna seseorang yang selalu takut atau seorang penakut. Kemudian ia rajin dan tekun melakukan topobroto atau bertapa.

Batara Guru atau Sang Hyang Pramesti Guru sangat memperhatikan tapa Raden Nirbita yang sangat tekun itu, sehingga ia menganugerahi suatu kekuatan batin atau daya sakti yang dinamakan Aji Gineng soka Weda. Berkat daya sakti itu ia menjadi kebal terhadap berbagai jenis senjata. Bahkan barang siapa yang memiliki kesaktian itu maka ia tak dapat dibinasakan oleh para yaksa (dewa), asura (iblis atau syaitan yang selalu memerangi manusia), yang dikepalai oleh Mahisa Sura, bahkan tidak pula oleh para Dewa.

Dengan Aji Gineng Soka Weda, Niwatakawaca dapat mengeluarkan ribuan raksasa dari dalam mulutnya sesuai dengan waktu yang dikehendakinya bahkan ia tidak dapat mati.

Setelah menjadi raja raksasa, ia memiliki kerajaan di Manikmantaka atau Imantaka yang terletak di kaki Gunung Semeru. Sang Hyang Pramesti Guru berpesan kepada Niwatakawaca agar berhati-hati dan berwaspada terhadap manusia sakti yang dapat mematikan Aji Gineng Soka Weda miliknya.

Manusia sakti yang dimaksudkan ialah Arjuna. Akan tetapi Niwatakawaca mengabaikan pesan Sang Hyang Pramesti Guru. Ia justeru lupa diri dan menjadi tamak, serakah, sombong, dan berani tidak pada tempatnya. Ia bahkan ingin menaklukan Suralaya, tempat tinggal para Dewa Dewi dan para bidadari. Ia bercita-cita untuk menaklukan Suralaya dan ingin memainkannya sewenang-wenang.

Pada akhir cerita dikisahkan bahawa Prabu Niwatakawaca mati terbunuh di tangan Arjuna kerana terkena Panah Pasopati milik Arjuna yang tepat menancap di ujung lidahnya, sebagaimana kelemahan Prabu Niwatakawaca yang terdapat pada bahagian ujung lidahnya.

Atas kemenangannya tersebut, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Suralaya selama tujuh hari (hitungan di dunia) iaitu sama dengan tujuh bulan di Suralaya. Seterusnya Batara Indra memberinya gelar Prabu Kariti yang bererti orang yang mendapatkan kemuliaan. Selain itu, Arjuna juga dinikahkan dengan tujuh bidadari tercantik di Suralaya yang sebelumnya pernah menggoda pertapaannya di Gunung Indrakila. Bidadari tersebut ialah Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Gagarmayang, Dewi Tanjung Biru, dan Dewi Lelengmulat.

Demikian kisah Arjuna Wiwaha, salah satu kisah pewayangan yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia karena banyak mengandung makna dan falsafah kehidupan. Salah satu yang menjadi titik perhatian adalah keuletan dan ketangguhan Arjuna yang mampu bertahan menghadapi godaan 7 bidadari tercantik dari kahyangan. Bahkan dewa-dewa terpesona dan terpikat oleh kecantikannya sementara Arjuna pada kesehariannya adalah manusia yang suka dengan kecantikan wanita.

Ternyata Arjuna sudah membulatkan tekadnya untuk bertapa demi mendapatkan pusaka sakti dan kesaktian.

Apa hanya dengan kebulatan tekad saja Arjuna mampu menahan berbagai godaan?

Tidak hanya itu saja. Arjuna dalam kisah Arjuna Wiwaha ini digambarkan sebagai manusia yang sudah memahami hakikat diri, alam semesta dan Tuhan sehingga dapat menahan diri dari berbagai godaan.

Sumber : Abdullah Ciptoprawiro. 2000. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
     

Arjuna Wiwaha Bagian I

Arjuna Wiwaha Bagian I – Kisah Arjuna Wiwaha atau Pernikahan Arjuna berasal dari kakawin Arjuna Wiwaha yang ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin Arjuna Wiwaha ini digubah pada tahun 1030.
Arjuna Wiwaha Bagian I
Arjuna adalah tokoh pewayangan dalam kisah Mahabharata, salah satu anggota dari Pandawa Lima yang berada ditengah sehingga dijuluki sebagai panengah Pandawa, adalah gambaran sosok ksatria tampan rupawan, memiliki kesaktian tinggi sehingga oleh para dewa diberi gelar ‘lelananging jagad’ atau lelaki paling hebat di dunia.

Arjuna adalah ksatria yang gemar bertapa untuk menambah kesaktiannya, disamping itu Arjuna merupakan idola masyarakat karena ketampanannya memiliki banyak istri, tidak hanya manusia bahkan bidadari atau dewi ada yang menjadi istrinya. Tidak tanggung-tanggung langsung 7 bidadari.

Seperti terdapat dalam kisah Arjuna Wiwaha berikut ini.

Arjuna Wiwaha Bagian I

Alkisah pada suatu masa terjadi keguncangan politik yang melanda kahyangan kaendran, milik Dewa Indra. Guncangan politik ini sangat dahsyat, sehingga sampai-sampai para dewa yang menghuni kahyangan merasakan ketakutan yang luar biasa besar, karena seorang raksasa yang sangat berkuasa dan jaya di dunia bermaksud untuk menghancurkan dan menguasai kahyangan.

Raksasa ini bernama Niwatakawaca. Dia adalah seorang raja yang bertahta di kaki Gunung Semeru. Raksasa ini sangat sakti, dan bahkan kesaktiannya melebihi kesaktian semua dewa di kahyangan. Untuk itulah seluruh penghuni kahyangan ketakutan, karena mereka merasa, bahwa sebentar lagi kahyangan akan hancur dan diluluh-lantakkan oleh Niwatakawaca. Mereka semua pasti akan dibinasakan olehnya, atau kalau pun dibiarkan hidup, mereka akan dijadikan budak.

Ketakutan ini menghantui seluruh negeri kahyangan.

Batara Indra yang berkuasa di kahyangan juga ketakutan di dalam menghadapi situasi ini. Dia takut jika Niwatakawaca mewujudkan niatnya untuk menghancurkan kahyangan. Dia telah merasa, bahwa dia akan dapat dikalahkan dengan mudah oleh Niwatakawaca oleh karena kesaktian Niwatakawaca yang tidak tertandingi. Seluruh dewa yang ada di kahyangan tidak akan mampu mengalahkan kesaktian raksasa itu.

Bukankah Batara Indra itu dewa? Bukankah dewa selalu akan menang melawan raksasa mana pun?

Mengapa Batara Indra telah merasakan, bahwa dia akan kalah melawan Raksasa Niwatakawaca? 

Jawabannya adalah karena Niwatakawaca telah mendapatkan kesaktian melebihi para dewa, bahwa dia tidak akan mati oleh dewa maupun raksasa. Untuk itulah Batara Indra sekalipun tidak akan mampu mengalahkan Niwatakawaca. Seluruh dewa tidak akan dapat mengalahkannya.

Namun demikian, sesakti-saktinya seseorang, masih ada yang dapat menandingi.

Niwatakawaca hanya dapat dikalahkan dan dibunuh oleh seorang manusia yang sakti. Dan Dewa Indra mengetahui akan hal ini, sehingga di tengah ketakutan itu, masih ada harapan yang akan diletakkan kepada ksatria yang akan mengalahkan Niwatakawaca.

Dalam ketakutannya tersebut, Batara Indra sebagai sang pemimpin di kahyangan mengadakan rapat akbar di istananya. Rapat akbar ini dihadiri oleh seluruh dewa, resi1 dan seluruh penghuni penghuni kahyangan.

Mereka semua ketakutan, jika Niwatakawaca mewujudkan maksudnya tersebut. Mereka tidak akan dapat mengalahkan Niwatakawaca, jika raksasa ini menyerang kahyangan. Batara Indra, sang pemimpin kahyangan, membuat sebuah perintah bagi seluruh penghuni kahyangan untuk mencari seorang manusia yang sakti dan didatangkan ke kahyangan, agar Sang Indra dapat minta tolong kepadanya, agar ksatria itu sudi menolong kahyangan. Di dalam rapat akbar tersebut, disebutkan nama seorang yang sakti, yang bernama Arjuna.

Saat ini Arjuna sedang bertapa di sebuah gua di puncak Indrakila yang berada di gunung Arjuna. Tujuan utama Arjuna dalam bertapa adalah untuk mendapatkan kesaktian, supaya dia dapat menang dalam peperangan. Dia ingin membela saudara-saudaranya yang saat ini berada dalam kekalahan melawan para Kurawa.

Di dalam pertapaannya, dia harus kuat menahan nafsu dan ketamakan. Jika dia tetap kuat di dalam menahan nafsu dan ketamakan, serta tetap tidak tergoda dalam memuja Dewa Siwa, maka dia akan mendapatkan anugerah kesaktian dari Dewa Siwa.

Para penghuni kahyangan, terutama Batara Indra, sangat berharap dan bergantung kepada Arjuna. Dia adalah satu-satunya harapan untuk dapat menolong kahyangan. Jika Arjuna tidak tahan dan tergoda oleh nafsu, maka pastilah akan sulit untuk mendapatkan orang yang sakti lagi.

7 Bidadari Kahyangan

Untuk itu dibuatlah sebuah keputusan dalam rapat akbar itu, bahwa akan diadakan pencobaan bagi Arjuna dalam pertapaannya.

Di kahyangan ada tujuh bidadari yang selalu berhasil di dalam menggoda nafsu para pertapa, sehingga pertapaan mereka menjadi sia-sia dan gagal. Dua di antara mereka yang sangat pandai dalam menggoda adalah dua bidadari yang bernama Tilotama dan Supraba.
Arjuna Wiwaha Bagian I
Dewi Supraba
Wajah mereka sangat cantik dan tidak ada yang mengalahkan kecantikannya. Oleh karena kecantikan mereka, para dewa senang untuk membelai-belai mereka. Oleh karena kecantikan mereka, Dewa Brahma seketika memiliki empat muka ketika melihat mereka, bahkan Dewa Indra seketika memiliki mata yang sangat banyak jumlahnya ketika memandang kecantikan mereka. Brahma dan Indra enggan berpaling memandang kecantikan para bidadari ini.

Demikianlah kecantikan ketujuh bidadari tersebut.

Ketujuh bidadari yang sangat cantik ini dipanggil ke istana Batara Indra yang sedang memimpin rapat akbar. Batara Indra memerintah mereka:

“Hai, putri-putri nan cantik. Aku akan meminjam kecantikan kalian untuk menyelidiki keteguhan hati Arjuna yang sedang bertapa. Godalah Sang Arjuna. Kalahkan dia. Namun jika kalian tidak sanggup menggodanya, berarti kalian telah kalah. Jika kalian kalah, maka pulanglah kalian ke kahyangan, anak-anakku!”

Setelah berkata demikian, ketujuh bidadari tersebut menyembah Indra dan mohon pamit. Rapat akbar itu ditutup oleh Sang Indra dengan harapan besar yang ditujukan kepada Arjuna.

Demikian kisah Arjuna Wiwaha Bagian I. Apabila anda ingin mengetahui kisah berikutnya, tunggu artikel selanjutnya.

Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti.